Minggu, 02 Mei 2010

Bapak

Bapak,
Sudah hampir lima tahun yang lalu Bapak tidur dan tidak pernah bangun kembali. Shubuh itu aku tidak ada disisimu untuk menemanimu, memijatmu seperti dahulu ketika aku masih kecil. Gundah gulana campur aduk ketika sang atasan di kantorku bekerja meminta aku untuk segera pulang kerumah dan ketika kutanyakan apa alasannya, beliau hanya berkata bahwa saya sedang dibutuhkan di rumah, hal yang aneh mengingat atasan saya jarang memberi izin pulang untuk hal yang sepele terlebih waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Pikirku melayang ke suatu hal yang belum kuinginkan terjadi, namun takdir berkata lain. Kaget, sesal, kesal, marah dan sedih bercampur menjadi satu dalam hati sepanjang perjalanan pulang.

Setibanya di rumah yang dapat ku tempuh hanya dengan setengah waktu normal perjalanan, sudah banyak keluarga dan kerabat yang ada di halaman rumah, mereka sudah mulai membantu sejak pagi hari dari rumah sakit hingga rumah duka, sungguh tak bisa kulupakan jasa jasa mereka terhadap kami yang sedang dilanda musibah kala itu.
Hari itu hari ke dua belas bulan ke sepuluh dan juga merupakan hari ke sepuluh bulan ramadhan, dan merupakan hari yang cerah, namun mendung menggelantung dalam setiap wajah keluarga kami yang kehilangan sosok Bapak. Selepas sholat dzuhur berjamaah di masjid Al Ikhwan, kami pun melakukan shalat jenazah, lalu kami mengahantar Bapak menuju Taman Bahagia yang berjarak kurang lebih dua kilo meter dari kediaman kami.

Entah kenapa di ujung hari hari Bapak, Bapak menjadi sosok yang sangat membuatku sangat tidak nyaman untuk berada dekat Bapak, memang sudah kusadari sejak lama bahwa Bapak adalah sosok yang dingin, pemarah, egois, kolot, diktator dan Bapak bukanlah seorang ayah yang dapat kujadikan teman yang baik untuk berbincang apalagi untuk berkeluh kesah. Sepanjang umurku Bapak hanya perduli akan kerja, berangkat setelah Bapak menunaikan shalat shubuh dan kembali menjelang sholat maghrib, itupun Bapak lantas menyibukkan diri dengan kegiatan niaga yang dilakukan dekat dengan kamar Bapak.

Ketika waktu umur Bapak memasukki usia senja, Bapak pun tidak menikmati hari tua selayaknya orang pensiun, Bapak masih disibukkan dengan mengurus usaha niaga yang kerap menyita waktu dan mengganggu kesehatannya. Hanya sedikit waktu Bapak untuk bercengkrama dengan kami. Dapat kulihat wajah bahagia ketika Bapak mengetahui bahwa Abang pertama aku diberi karunia oleh Sang Kuasa seorang bayi mungil cantik yang akan menjadi penerus generasi, terlebih ketika si Abang, putra pertama Kakaku datang menyusul setahun berselang.

Kusadari bahwa Bapak adalah anugerah yang pernah kumiliki, seorang yang sangat perduli akan kehidupan kami semua, yang selalu memperhatikan kami, bahkan masa depan kami. Bapak memang tidak dapat membahagiakan kami layaknya seorang Jendral yang dapat memenuhi kebutuhan bahkan impian keluarganya, namun Bapak selalu dapat memberikan kami makan sehari hari yang sangat nikmat bagi kami sekeluarga, bahkan Bapak sangat senang bila ada keluarga atau kerabat yang silih berganti datang untuk bersama sama menempati rumah dinas yang dipercayakan Pemerintah kepada Bapak. Bapak juga bukanlah seorang saudagar yang dapat menyekolahkan kami anak anaknya yang pemalas ini di sekolah elit dan bergengsi, namun kuingat betapa gigih perjuangan Bapak untuk mendapatkan SMU Negri demi anaknya yang hanya lulus SMP dengan nilai sangat minim, yang kemudian dengan tololnya si anak itu menyia nyiakan perjuangannya itu karena lebih memilih menjadi gembel.

Tak pernah kulihat Bapak bersedih ataupun kecewa karena kami, anak anaknya yang tidak bisa menjadi sesuai apa yang Bapak harapkan, bahkan aku tidak sempat memberikan hasil jerih payahku ini walau sedikitpun. Bapak hanya diam seperti tak perdulikan cemooh orang yang menganggap Bapak seorang yang gagal menjadi ayah yang baik, namun bagi kami Bapak tetaplah sosok yang sangat kami cinta.

Jauh dalam hati ini, kusadari bahwa sesungguhnya Bapak kecewa, sedih bahkan ingin menangis atau ingin memaki kami sesuai dengan tabiatnya sebagai keturunan salah satu suku yang terkenal keras dan juga layaknya watak kasar dan keras yang terbentuk karena lebih dari seperempat abad mengabdi sebagai seorang prajurit Negeri ini, namun itu semua tidak pernah Bapak lakukan dihadapan kami, entah karena apa, tapi aku yakin, semua itu tidak Bapak lakukan karena rasa kasih dan sayangnya terhadap kami.

Samar samar masih dapat kuingat, saat aku masih kecil Bapak membawaku ke suatu daerah yang menurutku jauh dari rumah bagiku yang masih kanak kanak, suatu tempat pelelangan ikan laut dekat dengan lautan yang penuh sesak dengan penjual ikan serta pembelinya, ketika itu hari sudah siang dan terdengar sayup sayup adzan memanggil setiap umatnya untuk segera meninggalkan setiap kegiatan dan pergi ke masjid guna menunaikan ibadah shalat Jumat, Bapakpun segera meninggalkan urusannya dan membimbing aku menuju masjid terdekat, ketika mulai memasuki masjid yang sejuk itu aku pun langsung tertidur lelap bagaikan pingsan, yang kusadari bahwa ketika aku bangun aku berada dalam pangkuan kaki Bapak yang nyaman layaknya bantal dan begitu kulihat sekeliling masjid sudah sepi hanya tinggal kami berdua dalam masjid yang cukup luas itu, lalu kami segera meninggalkan masjid yang entah dimana itu berada untuk menyelesaikan urusan Bapak dan kembali pulang. Sungguh, sampai detik inipun setelah lebih dari dua puluh lima tahun itu, masih dapat kurasakan betapa nyamannya tertidur lelap di pangkuan Bapak.

Banyak tindakan yang menunjukkan besarnya cinta Bapak terhadap kami, sikapnya yang dingin tidak memperlihatkan itu, namun kami sadar bahwa memang Bapak bukanlah sosok Ayah yang hangat bagi kami. Yang masih jelas kuingat, Pernah suatu sore aku di kagetkan dengan bawaan Bapak yang kala itu membawa kardus penuh dengan barang barang yang waktu itu kuinginkan menjadi koleksiku, betapa senangnya aku saat itu, walaupun aku mengetahui bahwa Bapak mendapatkan itu dari pasar loak dekat tempat Bapak kerja.

Rindu, rasa yang kerap datang menghampiri malamku, ingin kudengar suara serak Bapak memanggilku untuk di pijat tubuhnya. Sesal, mungkin itu yang sering menghantui. Kesal, pada diri ini yang tidak bisa menjadi apa yang Bapak harapkan atau setidaknya menjadi anak yang baik dan menuruti apa kemauan Bapak yang bukan suatu hal mustahil untuk aku lakukan, bahkan seringkali aku membantah permintaan Bapak. Amarah pada diri sendiri kian membuncah ketika kuingat kata kata bodoh yang sempat terlontar dari mulutku ketika suatu waktu aku memaki Bapak karena hal yang sepele yang kemudian di ikuti tangisan Mama dan Kakaku, kala itu Bapak hanya terdiam di kamarnya dan kemudian membaringkan diri di atas kasurnya, aku yang pada saat itu sedang terbakar emosi tidak sadar bahwa Bapak lebih memilih tidur daripada meladeniku, kini kusadari bahwa mendapat hardikan dari seorang yang disayangi terasa sangat menyesakkan hati dan memang lebih baik diam menerima itu, karena tidaklah mungkin untuk membalasnya bahkan sama sekali itu tidak terlintas di benak Bapak.

Kini waktu sudah berjalan menjauh, tidaklah mungkin untuk memperbaiki semua waktu yang telah kusia sia itu, tidaklah mungkin mengembalikan masa masa nyaman berada bersama Bapak. Hanya nisan yang kerap kami kunjungi untuk berkeluh kesah akan keadaan, tak bisa lagi kami persembahkan mie ayam kesukaan kita seperti dulu kala kita sering mampir di pinggir jalan bila sedang bepergian, tak mungkin lagi kami merasakan hangatnya seorang Bapak yang terkenal dingin dalam membesarkan kami, tak ada lagi bantal yang dapat memberikan rasa aman dan nyaman ketika kami tidur.
Hanya doa yang dapat kami haturkan kepada Sang Khalik untuk Bapak. Kami yakin bahwa semua kasih yang Bapak berikan akan mendapatkan balasan dari yan Maha Adil. Yaa Rahman Yaa Raahim, curahkanlah Kasih dan Sayang Mu pada Bapak yang telah mencurahkan segenap rasa yang telah kami terima sepanjang hidup kami. Yaa Kaarim, muliakanlah Bapak di sisi Mu. Yaa Nur, berikanlah cahaya Mu di setiap gelap Bapak. Yaa Waliy, lindungilah Bapak setiap saat. Kami hanya bisa memelihara kuburan Bapak saja namun Engkaulah yang Maha Pemelihara Yaa Hafiz.

Bapak.